Cinta Tak Sempurna



Catatan Hati

“Sungguh sia-sia menemukan alasan mengapa suaminya menceraikan begitu saja”

Saya tidak  tau apa kekurangan perempuan yang berdiri di hadapan saya. Wajah dan senyumnya manis. Tutur katanya lembut dan santun.Khas perempuan jawa. Tubuhnya?Jangan Tanya, untuk perempuan yang telah melahirkan enam orang anak, sosoknya lebih dari sempurna.
            Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai. Sebab perempuan berwajah ayu itu jauh lebih ramping dan bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan anak-anak SMA sekarang.
            Lantas apa yang salah
            Mengenalnya lebih dari lima tahun ternyata tidak memberikan jawaban bagi saya, atas sebuah pertanyaan kenapa?
            Lima tahun tanpa saya mampu menemukan deretan kekurangannya. Padahal hubungan kami terbilang dekat.
            Usianya masih muda ketika menikah dengan seseorang penceramah kondang. Lelaki yang diharapkan perempuan ini, bisa menuntunnya kesurga.
            Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu dua pertengkaran atau ketidak cocokan rasanya biasa dalam romantika pernikahan. Perempuan ini melahirkan lima orang anak yang dididiknya dengan baik. Kelima anaknya penurut, perhatian serta tidak banyak menyusahkan.
            Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya menjatuhkan talak Cerai. Begitu saja. Tidak ada pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain setidaknya dalam pengetahuan teman saya ini.
            Lalu dimana yang salah?
            “Saya tidak tahu” bisiknya lirih “Sebagai seorang istri rasanya saya tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu. Sejak dulu orang tua selalu mengajarkan saya untuk nrimo. Bersyukur dengan pemberian suami.”
            Bukan karena pertemanan saya menerima bulat-bulat penjelasannya. Melainkan, memang begitu juga teman-teman lain mengenalnya.
Perempuan yang lembut, apa adanya yang pandai menata rumah. Meskipun mungil tempat tinggalnya selalu terlihat asri dan fungsional. Tidak banyak pajangan antic yang terpampang diruang tamu, hanya perabot biasa yang memang diperlukan.
            “Saya bukan tidak pernah bertanya pada diri saya sendiri, Asma. Saya pikir apa karena saya terlalu menadahkan tangan terhadap suami?”
            Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya adalah wajar saja. Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia yang saya kenal tidak begitu.
            “Bukannya mbak sudah dari dulu mengajar?”
            Dia mengangguk  “Sejak tahun ketiga pernikahan.”
            Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya menceraikannya begitus aja.
Kadang saya gemes dengan kepasrahan menghadapi semuanya.
            “Biarlah Asma. Selama Allah Ridho kepada saya.”
            Omongan tetangga kiri dan kanan sungguh tidak mengenakkan. Apalagi sang suami penceramah kondan, yang dianggap berilmu dan sudah memiliki jam terbang yang tinggi.
Otomatis kesalahan dibebankan kepada sang Istri.
            “Wah, kalau didengarkan omongan orang tidak ada habisnya.Panas kuping.Tapi mau apa?”
            Membela diri, protes, meluruskan, tegakkan keadilan!
            Setidaknya itulah yang saya akan lakukan, jika hal serupa terjadi pada saya. Tapi perempuan ini menggelengkan kepala.
            “Saya terima saja. Mungkin ini takdir saya”
            Kepasrahan, keikhlasan menggetarkan saya.
     Juga kemudian ketika sahabat saya ini menikah lagi. Membawa kemasalah lain kemarahan banyak pihak.
            “Saya tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah memberitahu saya.”
Protes, berontak, batalkan pernikahan!
Lagi-lagi pikiran kritis meledak dikepala saya. Sahabat saya yang ayu, sahabat saya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa harus tersangkut menjadi istri kedua? Bukankah dia bisa memilih?
            Tapi itulah hidup. Lelaki yang di pilihnya ternyata milik perempuan lain. Setelah pernikahan belasan tahun dia dan istrinya belum juga memiliki anak. Tanpa sepengetahuan istrinya dia melamar dan menikahi sahabat saya.
            Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika beberapa lama kemudian sahabat saya mengabarkan via SMS bahwa dia sedang hamil. Berita yang sekaligus menjadi puncak kegembiraannya.
            Sebab sejak itu sang suami tak pernah lagi muncul. Istri pertamanya semakin cemburu mengetahui kehamilan madunya. Begitulah, hingga kemudian jabang bayi itu kemudian lahir dan beranjak umur dua tahun baru sekali sosok ayah mampir dimatanya. Taka ada nafkah.
            Tak ada kasih sayang, tak ada kewajiban pemenuhan apapun. Dan seolah sudah demikian seharusnya, sahabat saya hanya diam. Tidak protes, tidak menuntut ini itu yang menjadi haknya. Hanya diam.
            Hanya kalimat itu yang bermain dimatanya, saat menatap keenam buah hatinya yang semakin besar dan dewasa dalam asih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak pernah menguap oleh waktu.
            “Biarlah Asma. Selama Allah Ridho kepada saya!”

******

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SABUNG AYAM (MASSAUNG), DALAM EKONOMI, MORALITAS, DAN STABILITAS DAERAH MENJELANG PILKADA TORJA UTARA

DAUN SIRSAK OBAT KANKER DAN TUMOR GANAS YANG HEBAT, PENGGANTI KEMOTERAPI

Kepadamu di singgasana yang tak akan pernah bisa kurengkuh dengan tangan lahirku, selamanya.